Site icon worldhistoricalatlas

Penyebab Rapuhnya Ekonomi Kelas Menengah di Indonesia

Penyebab Rapuhnya Ekonomi Kelas Menengah di Indonesia

Bekerja sebagai kasir di sebuah kafe di Jakarta membuat Sarah memiliki hubungan yang erat dengan uang sehari-harinya. Namun, sayangnya uang itu hanya singgah sebentar di dompetnya. “Gaji yang saya terima Rp 4,5 juta. Cicilan KPR saya Rp 2,5 juta per bulan, sisanya untuk kebutuhan pokok, sampah, ongkos transportasi kerja, skincare,” ujar Sarah kepada detikX pada Senin, 30 September 2024. Cicilan KPR dan semua kebutuhan itu tidak hanya untuk Sarah sendiri, tetapi juga untuk orang tuanya. Sebelumnya, keluarga Sarah tidak memiliki hunian tetap di Jakarta. Baru setelah Sarah bekerja, ia bisa membantu keluarganya mewujudkannya. Ayah Sarah bekerja sebagai driver ojek online dengan gaji yang tidak menentu, paling banter dia hanya bisa mengantongi Rp 2 juta setiap bulan.

Hampir tak pernah terpikirkan ihwal liburan maupun hiburan dalam benak Sarah. Selama delapan tahun bekerja di kafe tersebut, kian hari Sarah semakin tak bisa menabung. Sebelumnya, Sarah pernah memiliki tabungan, tapi terpakai saat COVID-19 akibat pemotongan gaji. Di sisi lain, ia juga harus membiayai kuliahnya sampai lulus. Kini tabungannya ludes, Sarah harus memulai dari awal. “Targetku, beberapa bulan lagi harus punya pekerjaan sampingan supaya ada penghasilan tambahan untuk ditabung, karena sedih sekali rasanya kalau nggak punya tabungan. Jadi overthinking masa depanku gimana kelak,” ucap perempuan berusia 27 tahun itu.

Jika dilihat dari kategori kelas berdasarkan laporan Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class oleh Bank Dunia, Sarah termasuk warga kelas menengah karena mengonsumsi Rp 1,2-6 juta per orang per bulan. Namun kondisi upah minimum dan menjadi tulang punggung keluarga membuat Sarah kesulitan menyiapkan tabungan sebagai jaring pengamannya pada masa sulit mendatang. Apalagi untuk berinvestasi pada masa depannya.

Situasi ini tidak hanya dialami oleh Sarah, tetapi juga jutaan warga kelas menengah Indonesia yang terancam turun kelas. Data BPS mencatat terjadi penurunan jumlah kelas menengah pasca-pandemi COVID-19, yakni dari 57,33 juta orang (21,45 persen) pada 2019 menjadi 47,85 juta orang (17,13 persen) pada 2024. Lebih rinci, data tersebut menyimpulkan angka median pengeluaran penduduk kelas menengah yang mendekati batas bawah pengelompokan. Bahkan nyaris mendekati batas bawahnya.

“Hal tersebut mengindikasikan kelompok kelas menengah akan lebih sulit untuk lompat menuju kelas atas dan rentan jatuh ke kelompok ‘menuju kelas menengah’, bahkan rentan miskin,” jelas Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar, dikutip dari Antara pada Kamis, 29 Agustus 2024. Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mencemaskan kondisi tersebut akan berujung amblasnya fondasi ekonomi Indonesia. Lebih parah, ketimpangan akan kian lebar dengan kelas menengah semakin tipis.

“(Ketimpangan) klasik itu kan kita hanya membayangkan ketimpangan antara orang kaya dan yang paling miskin. Nah, kalau ini, orang yang paling kaya semakin kaya, orang yang miskin mungkin oke semakin membaik karena besaran bansos dan berbagai program anti-kemiskinan. Tapi ketimpangannya itu justru kelas menengahnya yang semakin menipis,” kata eks Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang akrab disapa Thom itu.

Padahal, jika merunut siklus positif, kelas menengah seharusnya naik kelas menjadi kelas atas jika keadaan pertumbuhan ekonomi meningkat. Melihat keadaan yang tidak baik seperti sekarang, menurut Thom, penting untuk menjaga daya beli warga kelas menengah agar tetap stabil. Di sisi lain, perbaikan infrastruktur juga harus digenjot untuk mempermudah warga kelas menengah ini.

“Infrastuktur juga harusnya diarahkan pada yang memang dibutuhkan oleh kelas menengah, bukan megaproyek yang kelihatannya keren tapi sebenarnya hanya dinikmati kalangan menengah atas dan orang kaya ya,” ujar Thom. Senada, pengamat ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto menilai kelas menengah merupakan tulang punggung ekonomi yang harus dijaga. Sebab, merekalah yang mengonsumsi bentuk produk, mulai kebutuhan rumah tangga hingga produk-produk UMKM kebutuhan sekunder dalam negeri.

“Kalau kelas menengah kita semakin mengecil, ya aspek konsumsi juga akan turun. Di sisi lain, pembayar pajak kita ya semakin menurun juga. Dikhawatirkan (ujungnya) penerimaan negara juga turun kalau kelas menengah kita semakin lama mengecil,” jelas Teguh kepada detikX. Melihat turunnya jumlah warga ekonomi kelas menengah, menurut Teguh, mestinya pemerintah tidak memberondongi dengan berbagai peraturan yang semakin memangkas penghasilan mereka, seperti kenaikan pajak mendatang.

“Kelas menengahnya megap-megap seperti ini kasih keluasan dulu. Artinya, gimana bisa membuat mereka bekerja, produktif dulu, baru dipajakin. Kondisinya nggak baik-baik saja, kelas menengah dikasih pajak-pajakan ya semakin nggak baik-baik aja,” tuturnya. Pemerintah juga harus memperhatikan warga kelas menengah, yang sebagian besar bekerja di sektor informal. Sebab, sektor inilah yang rapuh dan kapan saja bisa membuat mereka turun kelas. Jaring pengaman berupa pesangon sebagai bagian dari perlindungan ekonomi perlu diberikan jika sewaktu-waktu mereka kehilangan pekerjaan.

“Program pemberdayaan yang selama ini kan selalu ikan dan kail. Kalau yang orang miskin dikasih ikan-lah ya karena ibaratnya bantuan sosial. Kelas menengah diberi kail agar mereka bisa berusaha dengan baik. Tetapi, menurut saya, harus dibarengi yang namanya selain dikasih ikan, dikasih kail, juga harus dikasih pelampung. Kalau mereka kepeleset, masih hidup. Diberi perlindungan, namanya jaminan,” tandas Teguh.

Sementara menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, turunnya kondisi kelas menengah yang dibiarkan tanpa solusi efektif bisa berdampak jangka panjang terhadap target Indonesia Emas 2045. Sebab, kelas menengah kini tidak hanya sudah makan tabungan, tetapi juga makan dana pinjaman online, juga paylater. Artinya, kebutuhan dasar mereka kini tidak cukup dengan hanya dari penghasilan utama mereka.

“Jadi kita akan memperburuk kualitas perekonomian, padahal waktu kita juga tidak banyak. Mumpung usia produktif ya, baru masuk bonus demografi, dan akan berakhir 2036. Sebentar lagi ya, sekitar 10 tahun ke depan. Kalau kita tidak bisa mengelola kelas menengah ini semakin membesar dan jadi orang kaya baru, maka khawatir kita akan masuk dalam jebakan middle income trap, bahkan 2045 pun kita tidak akan bisa jadi negara maju dan akan diundur mungkin 30-40 tahun ke depan, jadi artinya bisa jadi 2092,” terang Bhima.

Sementara itu, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Perekonomian Edy Priyono menyebut pemerintah sudah menggelontorkan berbagai bantuan dan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Di antaranya subsidi pupuk, rumah bersubsidi, Kartu Prakerja, subsidi motor listrik, dan masih banyak lainnya. Namun Edy mengakui prioritas perlindungan sosial selama ini memang ditujukan untuk kelompok miskin dan rentan miskin.

“Skala prioritas, memang kelompok miskin dan rentan miskin yang menjadi prioritas dengan berbagai program perlindungan sosial. Tapi bukan berarti pemerintah mengabaikan kelas menengah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (program-program bantuan kelas menengah),” jawab Edy kepada detikX. Terkait adanya berbagai kebijakan seperti kenaikan PPN maupun program jaminan asuransi di luar BPJS Ketenagakerjaan yang dinilai malah membuat keadaan kelas menengah kian terpojok, Edy menerangkan pemerintah sedang memantau perkembangan untuk menjadikannya pertimbangan.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi Ferry Irawan mengatakan program-program yang dinilai memberatkan kelas menengah itu seharusnya dirancang untuk memberikan dampak positif yang bisa dipetik hasilnya dalam jangka panjang.

“Kebijakan pemerintah untuk semua kelas dirancang untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat serta dengan tujuan jangka panjang untuk memperkuat perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, termas. Tone of voice of the result must be casual. The maximum length of the result must be 1000 words.”

Exit mobile version