Site icon worldhistoricalatlas

Warga RI Dilanda Fenomena Ini Ditengah Kondisi Ekonomi Sedang Tidak Baik

Warga RI Dilanda Fenomena Ini Ditengah Kondisi Ekonomi Sedang Tidak Baik

Momen libur panjang di awal 2025 adalah kesempatan emas untuk refreshing dan melepas penat, terutama dengan pergi ke tempat-tempat rekreasi atau hiburan. Namun, di sisi lain, kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak begitu baik. Banyak yang mengalami penurunan daya beli, PHK massal, dan kelas menengah yang turun kasta, menjadi masalah yang cukup meresahkan.

Menurut Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, fenomena pergeseran pola belanja masyarakat ke hal-hal yang bersifat hiburan saat daya beli sedang terpuruk disebut sebagai experience economy. “Saat daya beli sedang menurun, masyarakat cenderung beralih ke pengalaman-pengalaman hiburan untuk melarikan diri dari situasi ekonomi yang sulit,” ujar Bhima.

Bhima juga mencontohkan bahwa banyak orang memilih untuk menghabiskan uangnya untuk berlibur ke tempat wisata, menonton bioskop, atau sekadar nongkrong di cafe, meskipun pendapatan mereka tidak meningkat signifikan dan masih memiliki cicilan KPR yang harus dibayar. Fenomena ini juga diikuti dengan maraknya tempat hiburan malam, karaoke, dan beach club di kota-kota besar, yang semakin spesifik menargetkan segmen konsumen tertentu.

Selain itu, arus dana investasi juga mulai masuk ke dalam experience economy. Banyak konsumen perkotaan yang mencari cafe hidden gem hanya untuk sekadar menikmati secangkir kopi, karena pengalaman unik tersebut memberikan sensasi yang menarik bagi mereka. Meskipun terdapat anomali, experience economy juga memberikan manfaat positif bagi perekonomian, seperti penciptaan lapangan kerja baru, pengembangan potensi wisata daerah, hingga konservasi alam.

Namun demikian, Bhima menekankan pentingnya bijak dalam menghadapi booming experience economy ini. Prioritas utama harus tetap diberikan pada kebutuhan pokok, seperti makanan dan minuman, serta pembayaran cicilan yang wajib. Setelah itu, barulah sebagian pendapatan bisa dialokasikan untuk ditabung atau diinvestasikan. Hanya sebesar 20% dari pendapatan yang sebaiknya digunakan untuk aktivitas experience economy.

Pakar Bisnis Profesor Rhenald Kasali juga memberikan sorotan serupa terkait dengan boomingnya experience economy. Dalam momen libur panjang Isra Mikraj dan Imlek pekan ini, tempat-tempat hiburan dipadati pengunjung hingga menyebabkan kemacetan di beberapa lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kondisi ekonomi sedang sulit, masyarakat tetap mencari cara untuk menikmati hidup dengan cara yang terjangkau.

Rhenald menjelaskan bahwa fenomena ini sering disebut dengan istilah lipstick effect, yang menggambarkan perubahan gaya konsumsi yang terjadi di tengah kondisi ekonomi tertentu. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Chairman Emeritus The Estée Lauder Companies Inc Leonard Lauder saat tragedi 9/11 di Amerika Serikat. Pada saat itu, penjualan lipstik justru meningkat meskipun kondisi ekonomi sedang sulit.

Dengan adanya fenomena experience economy dan lipstick effect ini, masyarakat diharapkan dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka. Tetaplah fokus pada kebutuhan pokok, namun tetap memberikan ruang untuk menikmati pengalaman-pengalaman hiburan yang terjangkau. Jangan lupa untuk selalu berpikir secara bijak dan tidak terlalu terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang berlebihan. Semoga dengan sikap bijak ini, kita semua dapat tetap menikmati hidup tanpa harus merasa terbebani oleh kondisi ekonomi yang sulit.

Exit mobile version